Sejarah Penyebaran Islam Di Tanah Jawa



Wali Songo Penyebar Islam Di Tanah Jawa

Sebelum masuknya Islam ke Pulau Jawa, pada umumnya situasi masyarakatnya cenderung dipengaruhi oleh adanya sistem kasta dalam.agama Hindu atau dikenal dengan perbedaan golongan kelas, sehingga kehidupan masyarakatnya bertingkat-tingkat dan terkotak-kotak. Mereka yang kastanya lebih tinggi tidak boleh bergaul dengan orang yang berkasta lebih rendah dan seterusnya.

Masyarakat Hindu ketika itu membagi kastanya menjadi empat (4) kasta yaitu:
kasta brahmana, kasta ksatria, kasta waisya, dan kasta sudra. Sebagai kasta yang paling rendah, kasta sudra sering tertindas oleh kasta lainnya, sehingga kehidupannya selalu diliputi keresahan.

Setelah ajaran Islam masuk dan tersebar din tengah-tengah masyarakat, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini terkikis perlahan-lahan dan dimulailah suatu kehidupan masyarakat baru tanpa penindasan atas hak asasi manusia yang dilatari oleh perbedaan tersebut. Perubahan ini terjadi diantaranya adalah berkat jasa para muballigh dan para wali.

Para penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17 dikenal dengan istilah Walisongo atau Walisanga . Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-KudusMuria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

a. Pengertian Wali

Wali atau Waliyullah adalah orang orang yang dikasihi Allah. Kata wali mengandung banyak arti. Bisa bermakna 'teman', 'kekasih', atau 'pengikut'. Dalam Al-Qur'an, dijumpai kata auliya Allah yang berarti 'kekasih Allah', 'orang-orang terkasih dan dicintai'. Secara umum, wali/aulia Allah adalah hamba yang sungguhsungguh mengabdi, menaati Allah dan Rasul-Nya sehingga diistimewakan dan mendapat maqam (kedudukan/derajat) mulia di sisi-Nya'.

Dalam Kitab Jami‟u Karamati al-Aulia Juz 1 hlm 7 Syech Yusup bin Sulaiman berpendapat bahwa: Wali ialah orang yang sangat dekat kepada Allah lantaran penuh ketaatannya dan oleh karena itu Allah memberikan kuasa kepadanya dengan Karomah dan penjagaan. Maksudnya adalah orang yang menjadi dekat keadaan jiwanya kepada Allah karena ketaatan dia akibatnya Allah menjadi dekat orang tersebut dan diberikan anugrah oleh Allah berupa karomah dan penjagaan untuk tidak terjerumus berbuat maksiat, apabila dia terjerumus berbuat maksiat maka cepatcepat dia bertaubat.

Wali, dalam hal ini Wali Allah atau Waliullah, adalah orang suci yang mula-mula menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Jadi, wali adalah orang yang mengabdikan diri kepada Allah dengan menyerahkan upaya lahiriah dan rohaniah untuk kepentingan agama Islam dengan disertai kelebihan karomah, dimana orang biasa tidak mungkin melakukannya.

K.H. Hasyim Asy‘ari, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wali adalah orang yang terpelihara dari:

a. Melakukan dosa, baik dosa besar, ataupun dosa kecil

b. Terjerumus oleh hawa nafsunya sekalipun hanya sekejap dan apabila melakukan

Hakim at-Tirmidzi mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabah), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi (al-kurbah) kedekatannya kepada Allah. Menurut atTirmidzi, seorang wali meng-alami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah SWT.

Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh "ishmah (pemeliharaan) dan karamah (kemuliaan) dari Allah. menurutnya, ada tiga jenis "ishmah dalam Islam, yiatu: Pertama, "ishmah al-anbiyâ‟ (ishmah para Nabi) merupakan sesuatu yang wajib, baik berdasarkan argumentasi "aqliyyah seperti dikemukakan Mu‘tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam"iyyah. Kedua, "ishmah al-awliyâ‟ (merupakan sesuatu yang mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan "ishmah bagi para wali dan tidak berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke dalam keyakinan agama ("aqa‟id al-dîn); melainkan merupakan karamah dari Allah kepada mereka. Allah melimpahkan "ishmah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara mereka.

Ketiga, "ishmah al-"ammah, "ishmah secara umum, melalui jalan al-asbâb, sebab-sebab tertentu yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat.

"Ishmah yang dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut atTirmidzi, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman, "ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi para wali "ishmah berarti terjaga (mahfûzh) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqâmat mereka. Masing-masing mereka mendapatkan "ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.

Inti pengertian "ishmah al-awliyâ‟ terletak pada makna al-hirasah (pengawasan), berupa cahaya „ishmah (anwâr al-ishmah) yang menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan berbagai gejala yang muncul dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian al-nafs (makamin al-nafs), sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk mengambil bagian dalam aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak tercemari berbagai kotoran al-nafs (ajnâs al-nafs ) Jadi dari berbagai pendapat di atas bahwa Derajat ke Wali an pada hakekatnya dapat diperoleh atau dicapai oleh sesorang mukmin yang bertaqwa dengan jalan melaksanakan dan mentaati segala peraturan dan tuntunan sya‘ra yang diwajibkan dan yang disukai Allah SWT dikerjakan dengan penuh ketekunan .

 Dan yang haram atau yang tidak disukai Allah dijauhkan dan dihindarkan dari dirinya supaya jangan sampai jatuh tergelincir melakukannya. Apabila tergelincir melakukan dosa kecil sekejap saja cepat-cepat diikuti dengan bertaubat yang sebenar-benarnya dan terus segera kembali kepada yang Haq (benar). Karena itu, membicarakan kewalian dan membuktikan kenyataan-nya adalah untuk menunjukkan bahwa sebutan wali semestinya diterapkan pada mereka yang memang memiki kualitas-kualitas yang disebutkan di atas (hal) bukan semata-mata nama belaka.

a. Pengertiaan Walisongo

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi HinduBudha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yanglain.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Kedua mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

b. Nama-Nama Walisongo

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

 Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrahim

 Sunan Ampel / Raden Rahmat

 Sunan Bonang / Raden Makhdum Ibrahim

 Sunan Drajat / Raden Qasim

 Sunan Kudus / Jaffar Shadiq

 Sunan Giri / Raden Paku atau Ainul Yaqin

 Sunan Kalijaga / Raden Said

 Sunan Muria / Raden Umar Said

 Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah.


Pada dasarnya, para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.

Masing-masing tokoh tersebut memiliki peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai ―tabib‖ bagi kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai ―Paus dari Timur‖ hingga Sunan Kalijaga yang menciptakan karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa, yakni nuansa Hindu dan Budha.

Selain istilah wali, di Jawa dikenal juga istilah sunan. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai, ustadz, penghulu, atau tuan guru. Menurut konsensus para ulama dan raja waktu itu, terdapat 9 orang yang patut dianggap sebagai wali, karena mereka sangat mumpuni baik dari ilmu agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomahnya terhadap kehidupan masyarakat dan kenegaraannya, yang dikenal dengan sebutan walisongo (sanga dalam Bahasa Jawa berarti sembilan).

Menurut HAMKA istilah Sunan berasal dari singkatan kata bahasa Jawa Susuhunan. Artinya adalah tempat penerima "susunan" jari yang sepuluh, atau dengan kata lain sesembahan. Namun demikian, istilah tersebut bukanlah istilah umum dalam agama Islam, melainkan hanya sebutan yang sifatnya sosio-kultural, khususnya pada masyarakat Jawa di Indonesia.

Pemakaian lainnya untuk istilah Sunan dan Susuhunan adalah sebagai gelar bagi raja-raja dari Keraton Surakarta, yaitu Amangkurat I-IV dan Pakubuwana I-XIII. Ini adalah warisan Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam, yang mengklaim sebagai Sultan dan Sayidin Panatagama, yaitu raja dan pemimpin agama bagi masyarakat Jawa.

Gelar Sunan juga dipakai oleh orang Sunda untuk menyebut orang yang memiliki kedudukan terhormat (Susuhunan). Ini terutama bisa dilihat dari Sunan Ambu, sosok perempuan mulia yang merupakan "ibu" dari kebudayaan dan peradaban Sunda. Dari sejumlah sunan, terdapat 9 orang yang paling terkenal diantara mereka yang dikenal dengan sebutan Walisongo, yaitu dari kata wali (bahasa Arab, yang berarti wakil), dan sanga (bahasa Jawa, yang berarti sembilan). Mereka dianggap sebagai mubaligh agung, baik dari segi ilmu agama Islam maupun bobot segala jasa dan karomah-nya terhadap kehidupan bermasyarakat dan kenegaraannya. TRADISI DI TANAH JAWA Islam diyakini kebenarannya oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Di Indonesia, Islam berkembang relatif cepat, meski menu'ut caratan para sejarawan, Islam masuk dan berkembang di Indonesia paling belakangan bila dibandingkan dengan agama-agama lainnva.

Perkembangan Islam, yang cepat ini menurut pendapat H. Syamsuddin RS dimungkinkan karena beberapa hal:

Pertama, ajaran yang terkandung dalam Islam sesuai dengan fitrah manusia, yang cenderung mengakui adanya kebenaran dari Allah Yang Esa padahal agama yang ada sebelumnya tidak memastikan keesaan Tuhannya.

Kedua, Islam masuk ke Indonesia didakwahkan secara damai, dalam pengertian bahwa Islam tidak dibawa dan membonceng satu kekuasaan atau kekuatan militer tertentu. Oleh karena itu, dampak teologis yang dikembangkan oleh para pemeluknya senantiasa mengajak dan menganjurkan kedamaian.

Ketiga, masuknya Islam ke Indonesia melalui pendekatan persuasif. Para dai cenderung tidak melakukan intimidasi atau pemaksaan kepada seseorang atau kelompok masyarakat untuk meyakini agama yang didak-wahkannya.

Keempat, dalam beradaptasi dengan masyarakat di Indonesia, yang secara geografis sangat berjauhan dengan pusat munculnya agama samawi (Islam), Islam cenderung lebih akomodatif dengan dan terhadap budaya setempat. Maka dari itu, dakwah Islam di Indonesia dikenal dengan pendekatan kultural (cultural approach). Dampaknya, menghasilkan "Islam yang sinkretis" (kejawen), sebagai-mana kasus Islamisasi di Jawa oleh para wali yang menjadikan wayang sebagai salah satu medianya.

Kelima, secara politis ditunjang oleh berdirinya beberapa kesultanan Islam, yang secara langsung atau tidak langsung, sangat berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia yang pada masa itu dikenal sebagai masyarakat paternalistik.

Hal-hal yang demikian inilah menurut hemat penulis yang yang menjadikan menjamur dan tumbuh kembangnya tradisi-tradisi di Tanah Jawa.


1. Tradisi

a. Pengertian Tradisi

Kata tradisi memiliki pengertian suatu perilaku atau tindakan seseorang, kelompok maupun masyarakat yang sudah menjadi kebiasaan, diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan di-laksanakan secara berulang-ulang. Tradisi biasa juga disebut kebiasaan dilakukan berdasarkan latar belakang kepercayaan, pengetahuan, norma dan nilai-nilai sosial masyarakat yang sudah diakui dan disepakati bersama. Karena telah diakui dan disepakati bersama, maka tradisi bisa menjadi adat istiadat yang berlaku bagi sekelompok masyarakat di suatu daerah atau di suatu kampung dan desa. Boleh jadi suatu kebiasaan diakui sebagai adat atau tradisi oleh sekelompok masyarakat di suatu desa tertentu, tetapi diakui atau tidak dilaksanakan oleh masyarakat di daerah lain.

Tradisi secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan Iain-lain yang diwariskan turun temurun termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut Senada dengan apa yang dikatakan Badudu-Zain bahwa tradisi merupakan adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan masih terus menerus dilakukan di masyarakat, di setiap tempat atau suku berbeda-beda.

Tradisi adalah suatu perilaku atau tindakan seseorang, kelompok ataupun masyarakat yang sudah menjadi kebiasaan, diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya, dan dilaksanakan secara berulang-ulang. Suatu tradisi biasa disebut juga kebiasaan dilakukan berdasarkan latar belakang kepercayaan, pengetahuan, norma dan nilai-mlai sosial masyarakat yang sudah diakui dan disepakati bersama. Karena telah diakui dan disepakati bersama, maka tradisi bisa menjadi adat istiadat yang berlaku bagi sekelompok masyarakat di suatu daerah atau di suatu kampung dan desa. Boleh jadi suatu kebiasaan ini diakui sebagai adat atau tradisi oleh sekelompok masyarakat di suatu desa tertentu, tetapi tidak diakui atau dilaksanakan oleh masyarakat di daerah lain. Seperti dikemukakan Judistira K.Gama bahwa :

“Tradisi yang ada dalam setiap masyarakaat adalah tatanan sosial yang berwujud mapan, baik sebagai bentuk hubungan antara unsur-unsur kehidupan maupun sebagai bentuk aturan sosial yang memben pedoman tingkah laku dan tindak anggota suatu masyarakat, yang hakikatnya tiada lain bertujuan untuk mengembangkan kehidupan mereka. Tradisi merupakan warisan sosial budaya yang selalu ingin dipertahankan oleh warga masyarakat sebagai identitass penting bagi kehidupan mereka”.

Tradisi sebagai suatu adat istiadat atau kebiasaan yang seringkali dianggap irasional, pada prakteknya selalu melahirkan pro dan kontra, antara kelompok masyarakat yang mendukung dan yang menentang. Bahkan tidak jarang aktivitas tradisional selalu dianggap menghambat upaya pembangunan yang mengarah pada perubahan dan kemajuan suatu masyarakat modern, sebagaimana diungkapkan oleh Suda yang dikutip oleh Abdullah Ali bahwa:

"Tradisi sering dipertentangkan dengan rasionalitas atau dianggap irasional". Namun demikian, keberadaan suatu tradisi bagaimana pun juga harus diakui mempunyai potensi sendiri untuk mendukung lahirnya suatu kebudayaan yang hakikatnya berakar pada kebiasaan suatu kelompok dalam masyarakat.

 Perilaku masyarakat yang sudah melembaga dalam suatu tradisi, berdasarkan keyakman yang dianut, pengetahuan yang dimiliki, atau norma dan nilai-nilai yang dipatuhi, itulah sebenarnya yang dikenal dengan istilah kebudayaan‖.

b. Pengertian Tradisi Islam

Kata tradisi menurut pendapat Al-Jabir berasal dari kata "turats" dalam bahasa Arab (wa-ra-tsa) berarti segala yang diwarisi manusia dan orang tuanya, yang berupa harta, pangkat dan keningratan. Dalam konteks pemikiran Arab Islam kontemporer dapat ditegaskan makna turats atau tradisi dalam arti warisan budaya, pemikiran, agama. sastra dan kesenian, sebagaimana dalam dunia Arab modern yang bermuatan emosional dan ideologis.Tradisi Islam merupakan segala hal yang datang dari atau dihubungkan dengan atau melahirkan jiwa Islam. Masalahnya, adalah bagaimanakah cara mengetahui bahwa tradisi tertentu atau unsur tradisi berasal dari atau dihubungkan dengan atau melahirkan jiwa Islam, yang kemudian menjadi Islam? Dalam konteks ini, mengacu pada pendapat Barth yang menandai hubungan antara tindakan dan tujuan interaksi manusia, menurutnya:"....akibat dari (tindakan dan) interaksi selalu ber-variasi dengan maksud partisipasi individu. 

Pemikiran Barth menurut pendapat Muhaimin AG memungkinkan kita berasumsi bahwa suatu tradisi atau unsur tradisi bersifat Islami ketika pelakunya bermaksud atau menngaku bahwa tingkah lakunya sesuai dengan jiwa Islam. Tentu saja ini penyederhanaan yang berlebihan, namun bagaimanapun Barth adalah seorang ilmuwan kontemporer yang mengakui pentingnya niat dalam tindakan manusia. 

Adapun tradisi Islam menurut Nasr adalah perpaduan antara wahyu yang diterima Nabi dalam bentuk Kitab Suci dan bahwa Islam, sebagai agama, diserap sesuai dengan fitrahnya sendiri dan berhasil mencapai jati dirinya melalui peralihan dan sintesis. Tradisi Islam mencakup semua aspek religi dan percabangannya berdasarkan apa yang dicontoh oleh para wali.

Lebih lanjut, Nasr berpendapat bahwa tradisi Islam layaknya sebuah pohon. Akarnya berada pada wahyu, dari akar ini tumbuhlah sekian banyak cabang dan ranting. Intinya adalah agama dan getahnya mengandung barakah, kebenaran suci, abadi dan tak tergantikan, kearifan abadi, dan penerapannya yang terus berkesinambungan sesuai dengan kondisi zaman.

Menurut definisi Nasr, dapat dipahami bahwa tradisi Islam mencakup banyak hal, meliputi: pengetahuan, cara memandang dunia, nilai, dan perilaku yang diupayakan selalu merujuk pada kitab suci dan jiwa kitab suci. Secara teknis, cara untuk mengetahui tradisi yang dikandung oleh agama tertentu (Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Iainlain.) adalah dengan mempelajari kitab sucinya masing-masing.

Dengan demikian makna leksikal "tradisi" di mana pemilik atau pelakunya berniat melakukan atau menyatakan dasar tindakannya, hal itu terkait dengan, atau melahirkan, jiwa Islam dan perilaku yang diniatkan atau dinyatakannya itu bersumber dari dalam kitab suci.

c. Pengertian Ritual

Secara leksikal ritual adalah bentuk atau metode tertentu dalam melaksanakan upacara keagamaan atau upacara penting, atau tata cara dan bentuk upacara. Makna leksikal (dasar) ini menurut Muhaimin AG menyiratkan bahwa di satu sisi, aktifitas ritual berbeda dari aktivitas biasa, terlepas dari ada atau tidaknya nuansa keagamaan , atau kekhidmatannya. Di sisi lain, aktifitas ritual berbeda dari aktifitas teknis dalam hal ada atau tidaknya sifat seremonial.

Upacara atau ritual sebagai kumpulan aktifitas manusia yang kompleks dan tidak mesti bersifat teknis atau rekreasional. tetapi melibatkan model perilaku yanng sepatutnya dalam suatu hubungan sosial. Senada denngan apa yang dikatakan Leach, bahwa ritual adalah setiap perilaku untuk mengungkapkan status pelakunya sebagai makhluk sosial dalam sistem struktural di mana ia berada pada saat itu).

2. Macam-Macam Tradisi di Tanah Jawa

a. Tradisi Ziarah Kubur

1). Pengertian Ziarah Kubur

Ziarah kubur adalah suatu kegiatan yang –oleh sebagian orang-- sudah dianggap tradisi. Ziarah kubur ini sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada tokoh yang telah meninggal tersebut. Penghormatan terhadap arwah Wali yang sudah tiada dengan motif ziarah pada awalnya, dilakukan oleh masyarakat karena adanya persepsi bahwa wali sebagai "orang suci" pilihan Allah SWT dalam catatan sejarah penyiaran Islam banyak menunjukkan karomahnya (kesaktian), yang menyebabkan orang tertarik untuk memeluk agama Islam.

2). Pelaksanaan Ziarah Kubur

Para peziarah kubur biasanya melaksanakan ziarah kubur secara individual ke makam-makam para wali songo, atau makammakam orang-orang yang dianggap keramat. Namun demikian ada pula ziarah kubur itu dilakukan secara rombongan.

3). Destinasi Ziarah Kubur Di Tanah Jawa

Destinasi ziarah kubur yang ada di tanah jawa biasanya adalah kuburan para wali seperti Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, maulana Malik Ibrohin Jawa Timur, Sunan Kudus di Kudus, syekh Datul Kahfi di Pamijahan, Sultan Hasanuddin di Banten, Mbah Bantar Bolang, syekh Palintaran dan Syekh pandan Jati di Bantar Bolang Jawa Tengah, Makam Mbah Nur di Moga Jawa Tengah dan lain sebagainya.

PENUTUP

Islam sebagai agama yang mudah dicerna oleh masyarakt dan memiliki ritual (praktek ibadah) yang tidak memberatkan masyarakat Jawa dan tidak menempatkan manusia pada strata atau kasta tertentu serta disampaikan oleh dai/mubaligh yang lemah lembut dan arif tentu saja cepat mendapatkan tempat pada masyarakat Jawa Oleh sebab itu, Tanah Jawa sebagai salah satu daerah penyebaran Islam yang dilakukan oleh para wali dan muballigh yang sangat arif dan bijaksana dimana penyebaran Islam dilakukan dengan cara mengajak dan merangkul serta tidak menghancurkan tradisi lama tapi mengarahkan tradisi lama yang bertentangan dengan syariat Islam menjadi (disesuaikan atau diwarnai dengan ajaran Islam) menjadikan Tanah Jawa sebagai daerah yang mempunyai banyak tradisi.

Munculnya berbagai tradisi yang tidak ada dalam sumber tasyri baik dari Al-Quran maupun Al-Hadits tentu mengundang banyak pandangan dan persepsi. Pandangan dan persepsi yang ada dapat dirangkum menjadi tiga kelompok yaitu kelompok penganut Islam Tradisional, Penganut Islam Modernis dan penganut Islam pragmatis.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Penyebaran Islam Di Tanah Jawa"

Posting Komentar